Jika kita berbicara tentang kualitas seorang tenaga
kefarmasian
dalam ruang
lingkup nasional
mungkin sudah sering terdengar di telinga kita, namun bila disinggung tentang tenaga
kefarmasian dalam
lingkup internasional mungkin sangat
luas cakupan pembahasannya. Yang akan kita kupas disini adalah mengenai kualitas antara seorang
mahasiswa farmasis di Indonesia dengan
mahasiswa farmasi asing.
Apabila dikaitkan dengan dunia internasional maka pada umumnya masalah yang akan langsung muncul di
pikiran pertama kali ialah permasalahan
bahasa.
Bahasa asing atau bahasa
internasional seringkali
menjadi salah satu kendala mahasiswa untuk berkembang. Sebagian mahasiswa
berpikir bahwa mempelajari bahasa bahasa lain seperti bahasaInggris,Jerman,
Jepang, dan yang lainnya
tidak terlalu berpengaruh pada kelulusan mereka, sehingga mereka cenderung tidak mau mempelajari bahasa-bahasa
asing tersebut. Pikiran yang
seperti inilah yang akan
berakibat fatal bagi para mahasiswa
untuk bersaing di dunia internasional,
sehingga pada
akhirnya mereka hanya berputar pada ruang lingkup nasional saja. Namun tidak semuanya memiliki pemikiran
yang seperti itu, ada sebagian
yang memperlihatkan etos kerja dan keintelektulan mereka dengan mampu menguasai beberapa bahasa lain. Itu semua karena
orang-orang seperti mereka memiliki tekad, semangat dan kegigihan
yang tinggi.
Pada dasarnya, mahasiswa farmasi yang di
luar negeri dengan mahasiswa farmasi di Indonesia mempelajari ilmu yang sama, hanya
kelemahan dari mahasiswa farmasi di Indonesia ada pada kemampuan
Informasi dan
Teknologi (IT) dan kemampuan berbahasa asing terutama
bahasa internasional yakni bahasa Inggris, serta fasilitas atau sarana yang diterima oleh mahasiswa
farmasi di Indonesia bisa dibilang
jauh tertinggal dari mahasiswa luar negeri. Selain itu mahasiswa di luar negeri lebih menghargai waktu dan memiliki kedisiplinan yang tinggi dibanding mahasiswa di Indonesia. Oleh karena itu, ada tiga hal
yang harus dimiliki seorang mahasiswa farmasi Indonesia jika ingin bersaing
dengan mahasiswa asing
lainnya yakni menghargai waktu
dengan disiplin, belajar dan berlatih dengan serius, menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris serta meningkatkan
pengetahuan mengenai IT. Jika tiga hal tersebut sudah dimiliki oleh mahasiswa farmasi di
Indonesia, alhasil mahasiswa farmasi Indonesia
tidak merasa
canggung dan dapat dengan
mudah bersaing dengan mahasiswa asing
.
Selain permasalahan diatas, masalah selanjutnya adalah tentang citra
seorang apoteker
atau farmasis di mata
masyarakat Indonesia. Pandangan sebagian besar masyarakat adalah
bahwa profesi apoteker
di Indonesia kurang dikenal baik. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya mengetahui bahwa
apoteker itu adalah
seseorang yang bertugas di
apotek tanpa tahu apa tugas mereka. Dewasa kini, masyarakat menghubungkan apoteker selalu identik dengan apotek,
bahkan masyarakat awam tidak mengetahui bahwa prospek kerja seorang apoteker atau farmasis itu sangatlah luas. Dalam
pemikiran mereka apabila mereka pergi berobat maka yang
menjadi tokoh utamanya
hanyalah seorang
dokter, padahal
seharusnya apoteker dan dokter saling bersinergi menjadi satu
kesatuan dalam mengupayakan pelayanan kesehatan masyarakat. Selain itu, sering terjadi pula dokter yang langsung memberikan
obat sendiri kepada pasiennya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada apoteker
sehingga terkesan
tenaga kefarmasian dipandang sebelah mata baik oleh dokter maupun oleh
masyarakat atau pasien itu sendiri.
Hal tersebut sangat berbeda jika
dibandingkan dengan Negara lain, terutama di negara-negara maju. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan telah
memiliki pencitraan yang sangat tinggi di mata masyarakatnya.
Apoteker memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apoteker
bersama dengan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya menjadi sebuah tim
yang saling bekerja sama dalam meningkatkan upaya pelayanan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga pandangan terhadap seorang farmasis diluar negeri terkesan lebih tinggi di
mata masyarakat karena keprofesionalan mereka dalam upaya pelayanan masyarakat.
Pada saat ini, fokus profesi apoteker telah berganti dari drug oriented
(pelayanan obat) menjadi pharmaceutical
care (pelayanan pasien). Pada prinsip drug
oriented, apoteker cenderung bekerja
di balik layar saja,
yakni hanya
meracik dan menyuplai
sediaan farmasi. Namun, pada prinsip pharmaceutical
care, apoteker bukan hanya terfokus kepada obat, namun lebih terarah dalam pemberian pelayanan, informasi, dan kepedulian
terhadap pasien. Dengan sistem seperti ini diharapkan masyarakat dapat lebih
mengenal peran apoteker dalam meningkatkan upayapelayanan
kesehatan masyarakat.
Seperti yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa
masalah seperti kurangnya penguasaan
bahasa asing karena mahasiswa yang tidak memahami pentingnya kemajuan
informasi dan teknologi, kurang
menghargai waktu dalam
keprofesian farmasi, serta citra
seorang farmasis di mata masyarakat yang tidak berkembang dikarenakan adanya sikap memandang
sebelah mata pekerjaan seorang farmasis, masalah lapangan
pekerjaan serta ketidak profesionalan ini menjadi
tugas besar
kita sebagai mahasiswa
farmasi yang nantinya akan turun dan mengabdi pada masyarakat. Diharapkan mahasiswa farmasi dapat membuat suatu perubahan nyata bagi menjadi tenaga tenaga farmasis yang berkompeten
dan menjaga keprofesionalan kita sebagai
seorang farmasis masa depan
Indonesia. Semua itu perlu dilakukan untuk merubah
pencitraan seorang farmasis di mata masyarakat menjadi lebih baik dan
agar kita dapat bersinergi dengan interprofesi kesehatan lainnya dalam meciptakan upaya pelayanan kesehatan
yang optimal bagi masa depan Indonesia yang lebih baik dan menciptakan daya saing
yang baik dan sehat dengan tenaga kerja farmasi
dan interprofesi kesehatan internasional
kelak terlebih dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi unggul di
bidang kesehatan.
0 komentar:
Posting Komentar