Jumat, 12 Juni 2015

Essay terbaik LK II : Deki Ahmad Nugraha

TATAP (TIADA APOTEKER TIDAK ADA PELAYANA)

Oleh : Deki Ahmad Nugraha

Profesi apoteker di awal abad ke-20 berperan sebagai pembuat dan peracik obat. Namun kemudian secara bertahap peran ini diambil alih oleh industri farmasi, sehingga pada pertengahan tahun 1960-an muncul suatu praktik baru yang disebut farmasi klinik. Kata “klinik”menunjukkan adanya keterlibatan kepentingan pasien (patient oriented). Konsep ini kemudian pada tahun 1990-an dikenal dengan istilah Pharmaceutical Care. Implementasi Pharmaceutical Care tidak hanya berlaku untuk apoteker yang bekerja di rumah sakit saja tetapi juga bagi apoteker yang bekerja di tempat lain, seperti: apotek, industri farmasi dan institusi lain. Dalam konteks farmasi rumah sakit, pharmaceutical care ditandai dengan kepedulian akan keamanan dan efektifitas obat yang diberikan kepada pasien serta biaya pengobatan yang ekonomis melalui keterlibatan apoteker secara langsung dalam perawatan pasien dari hari ke hari bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain di rumah sakit. Sedangkan di farmasi komunitas, pharmaceutical care diterapkan melalui interaksi langsung apoteker dengan pasien saat mereka berkunjung ke apotek untuk mendapatkan obat.

Tapi dalam kenyataan di lapangan, pandangan masyarakat tentang profesi apoteker masih sangat kurang dan perlu dikaji ulang,. Selama ini masyarakat hanya mengenal apoteker adalah penjual obat atau penjaga apotik yang mungkin menjadi semacam anak buah seorang dokter dalam pelayanan kesehatan. Padahal seharusnya apoteker dan dokter bekerja secara berkesinambungan dengan tugas khusus masing-masing. Khususnya bagi profesi apoteker dalam apotek. Pemerintah telah menerbitkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek melalui Kepmenkes No. 1027 tahun 2004.. Sebenarnya, seorang lulusan farmasi dan lulus pendidikan profesi apoteker dimasyarakat hanya dikenal sebagai profesi yang “bisa dipinjam ijinnya” tanpa ada kejelasan apa sebenarnya tugas pokok pekerjaannya.

ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia) menginginkan posisi tawar yang tinggi bagi profesi apoteker di bidang pengabdiannya. Dimulai dengan mengadakan sang apoteker di tempat kerjanya, karena sudah jadi rahasia umum jika apoteker itu suka makan gaji tetapi tidak sebanding dengan apa yang diberikan saat bekerja. Sebenarnya sangat tepat sekali apa yang telah digalakkan ISFI,  No Pharmacist No Service sedikit banyak pasti akan meningkatkan awareness masyarakat terhadap profesi apoteker, dan juga pastinya akan semakin mengasah ilmu yang telah didapat para apoteker sewaktu di bangku kuliah.

Masalahnya, respon terhadap  ISFI itu ternyata banyak yang tidak dihiraukan oleh para apoteker saat ini, apalagi birokrasi di indonesia yang terkesan “Ribet” bagi sebagian apoteker. Terlihat sekali disini tentang hakikat manusia yang menjadikan kita sebagai manusia membuat pekerjaan lebih mudah dengan hasil yang memuaskan. Tata letak permasalahan sebenarnya disini, konsep pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian yang menjadi tugas pokok apoteker untuk masyarakat mulai pudar. Padahal asuhan kefarmasian telah menjadi tugas pokok yang seharusnya apoteker jalankan disetiap detail tugasnya dalam masyarakat.

Kita tak perlu terlalu saklek dalam memahami & menjalankan aturan. Hal yang terpenting adalah tujuan dari aturan itu tercapai. Misalnya, dalam Kepmenkes tersebut jelas diatur bahwa apotek harus menyediakan ruangan khusus yang tertutup untuk konseling tapi apakah harus seperti itu dengan melihat kenyataan mengenai peran apoteker yang dilihat masyarakat? Tentu tidak, karena kita bisa mengatur nada bicara untuk konseling dan menjaga privasi pasien. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Kementrian Kesehatan RI juga telah menerbitkan pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik. Kita tinggal mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disediakan oleh organisasi maupun pemerintah. Kita tak perlu takut karena tidak siap, karena semua itu bisa dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan. Hal yang terpenting adalah kita mau berbuat baik untuk ikut membenahi kesehatan masyarakat. Dengan dasar yang jelas dan niat yang tulus saya rasa peran farmasi ke depan akan semakin dilihat oleh masyarakat. Banyak hal sepele yang bisa kita lakukan di apotek agar semakin dikenal dan yang paling utama adalah peduli terhadap pasien. Ketika pasien sudah mengenal kita, mereka akan perlahan mengenal juga apa yang bisa kita lakukan untuk mereka. Filosofi profesi farmasi adalah ”Pharmaceutical Care”, yang perlu diterjemahkan ke dalam misi, visi, dan seterusnya. Misi dari praktik farmasi adalah menyediakan obat dan alat-alat kesehatan lain dan memberikan pelayanan yang membantu orang atau masyarakat untuk menggunakan obat maupun alat kesehatan dengan cara yang benar. Dalam proses pengobatan penyakit berarti tugas farmasis adalah menjamin kualitas obat dan proses penggunaan obat untuk dapat mencapai pengobatan maksimum dan terhindar dari efek samping. “Asuhan kefarmasian” merupakan proses perbaikan yang berkesinambungan dalam proses kolaborasi antara farmasis dan tenaga kesehatan lain dengan pasien untuk mencapai tujuan terapi optimal bagi pasien. Menghormati hak-hak asasi pasien, menjaga kerahasiaan, melaksanakan kode etik, dan menghargai kemampuan tenaga kesehatan lain yang terlibat merupakan syarat mutlak dalam melaksanakan proses kolaborasi tersebut.

Posisi farmasis menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan rasional bagi masyarakat karena keterlibatannya secara langsung dalam aspek aksesibilitas, ketersediaan, keterjangkauan sampai pada penggunaan obat dan perbekalan kesehatan lain, sehingga dimungkinkan terciptanya keseimbangan antara aspek klinis dan ekonomi berdasarkan kepentingan pasien. Sehingga konsep pharmaceutical care dalam tugas pokok farmasis dapat tercapai dengan baik bagi seluruh lapisan masyarakat.

Oleh Deki Ahmad Nugraha Farmasi UHAMKA


0 komentar:

Posting Komentar