Jumat, 12 Juni 2015

Essay terbaik LK II : Sri Sumartini

URGENSI KONSELING OLEH APOTEKER SEBAGAI PILAR KEPROFESIAN

Ketidakrasionalan penggunaan obat cukup banyak kita temui. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan terapi bahkan komplikasi yang akhirnya berakibat fatal. Maka komunikasi antara apoteker dengan pasien mengenai pemberian informasi obat yang rinci dapat mengatasi permasalahan tersebut, komunikasi ini disebut konseling. Kegiatan konseling sangat essensial dalam praktik pelayanan kefarmasian, yang mana merupakan bagian dari pilar profesi Apoteker. Pada kondisi saat ini, memang beberapa Rumah Sakit dan Apotek ternama juga sudah melaksanakan konseling obat oleh Apoteker, namun lagi-lagi pada Apotek kecil, konseling belum bisa dilaksanakan dengan efektif sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pasien akan kebingungan dalam menggunakan obat tesebut.

Seorang apoteker sebelum menjalankan praktik profesinya harus mengucapkan sumpah/janji (PP No.20/1962). Dalam menjalankan praktik profesi Apoteker, perlu selalu diingat bahwa terdapat 3 pilar, yaitu 1) ilmu, 2) etika, dan 3) hukum. Menurut Pedoman Kode Etik Apoteker Indonesia tentang Kewajiban Apoteker terhadap Pasien pada Pasal 9, Apoteker mempunyai kewajiban mengutamakan kepentingan pasien. Hal ini berarti pelayanan diorientasikan kepada pasien, salah satunya dengan dilaksanakannya konseling. Rumah Sakit yang sudah melaksanakan konseling yaitu seperti RSUP Fatmawati, Siloam Hospital, dan beberapa RS ternama lainnya. Sedangkan untuk RS kecil, kegiatan konseling obat oleh apoteker seringkali terabaikan atau meskipun  sudah terprogram, keterbatasan Apoteker sebagai SDM yang berkualitas, dan keterbatasan waktu serta keterbatasan fasilitaslah yang menghambat berlangsungnya efektifitas konseling. Tentu saja hal ini amat disayangkan. Padahal Standar Kompetensi Apoteker sudah menjelaskan bahwa Apoteker harus mampu melaksanakan praktik kefarmasian sesuai kode etik dan mampu memberikan informasi mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan. Kemudian lebih lanjut lagi Apoteker harus menjalankan sikap sebagaimana yang terkandung dalam Nine Star of Pharmacist, yang dalam hal ini yakni sebagai care giver dan communicater. Keseluruhan hal tersebut jelaslah merupakan bagian dari pilar atau dasar yang kokoh tentang profesi seorang Apoteker yang mana wajib ditanamkan dalam jati diri Apoteker itu sendiri. Apoteker harus selalu menjunjung tinggi kode etik dalam pelayanan pasien.

Dengan dilaksanakannya konseling, maka akan berdampak positif yaitu meningkatkan eksistensi Apoteker sebagai penyedia informasi obat beserta penggunaan yang baik dan benar. Apoteker juga seharusnya menjalankan konseling sebagai suatu disiplin ilmu, agar pilar keprofesian dapat terealisasikan. Konseling ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat (Jepson, 1990, Rantucci, 2007). Salah satu manfaat dari konseling adalah meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Schnipper, et al., 2006). Selain itu pasien memperoleh informasi tambahan mengenai penyakitnya yang tidak diperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu bertanya, atau tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin ditanyakan (Zillich, Sutherland, Kumbera, Carter, 2005; Rantucci, 2007). “Konseling ke Apoteker masih minim dilakukan pasien. Biasanya permohonan konseling hanya dilakukan oleh kalangan  dengan pendidikan tinggi” papar Nufi Gustri Awanto, mahasiswa UGM yang menjadi juara I World Patient Counseling di Thailand. Di negara-negara besar seperti Kanada, masyarakat tahu benar tentang obat yang dikonsumsinya. Konseling ini bahkan tidak hanya dilakukan di apotek atau rumah sakit saja, tetapi juga lewat telepon. Jelaslah bahwa Apoteker sepatutnya membudidayakan konseling di Indonesia demi peningkatan mutu kesehatan. Pada pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan sangat diperlukan peran profesionalisme Apoteker sebagai salah satu pelaksana pelayanan kesehatan. Apoteker bertanggung jawab dalam menjamin penggunaan obat yang rasional, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien dengan menerapkan pengetahuan keterampilan, dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya (Siregar, 2004).

Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan, maka solusi yang saya berikan kepada ISMAFAESI selaku wadah aspirasi mahasiswa Farmasi yaitu sebagai berikut : ISMAFARSI sebaiknya melakukan sosialisasi seperti berupa seminar dan pelatihan tentang  urgensi konseling kepada mahasiswa farmasi dan mengajukan Pharmaceutical Counseling Programme kepada Universitas dengan sistem seleksi tes kemampuan tentang ilmu farmasi. ISMAFARSI sebaiknya mampu mengembangkan program konseling yang sudah ada, misalnya di Rumah Sakit dan Apotek dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, seperti konseling dapat dilakukan via telepon atau skype antara pasien dengan Apoteker. ISMAFARSI sebaiknya mengadakan program evaluasi dan pemantauan konseling oleh Apoteker di Rumah Sakit dan Apotek agar konseling tersebut tetap terlaksana dengan baik. ISMAFARSI sebaiknya mengajukan rencana dan berupaya untuk program pelayanan konseling oleh Apoteker yang dikombinasikan dengan profesi dokter dan perawat kepada instansi agar Pelayanan Kesehatan di Indonesia semakin membaik.


DAFTAR PUSTAKA Denia Pratiwi. 2011. PENGARUH KONSELING OBAT TERHADAP KEPATUHAN PASIEN HIPERTENSI DI POLIKLINIK KHUSUS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG. Diakses dari http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/ARTIKEL4.pdf ISFI. 2009. Kode Etik Apoteker Indonesia. Diakses dari http://www.ikatanapotekerindonesia.net/download/dokumen_iai/Kode%20Etik%20Apoteker%20Indonesia.pdf  Olivia Lewi Pramesti. Konseling Penggunaan Obat Perlu Dibudidayakan. Diakses   dari http://health.kompas.com/read/2011/08/25/16174170/Konseling.Penggunaan.Obat.Perlu.Dibudayakan.

Oleh Sri Sumartini Farmasi UIN Jakarta




0 komentar:

Posting Komentar