Pelantikan SA Wilayah

Rakerwil ISMAFARSI Jabodelata

HUT ISMAFARSI KE 59

Perayaan Ulang Tahun ISMAFARSI pada acara Inspiring Class

Cek Kesehatan

World Diabetes Day dan Hari Kesehatan Nasional

Senam Pagi

World Diabetes Day dan Hari Kesehatan Nasional

Pelatihan Pharmapreneurship

Rakerwil ISMAFARSI Jabodelata

Jumat, 27 Maret 2015

Tuberkulosis? “Si Kecil” yang Mengancam!

Artikel Ulasan. Jakarta, 26/03/ 2015.

Tuberkulosis atau yang lebih dikenal dengan singkatan TB, masih menjadi masalah kesehatan yang patut diwaspadai karena perkembangannya yang semakin mengkhawatirkan baik di dunia berkembang maupun di sebagian negara maju. Sejak tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Hal ini disebabkan karena situasi TB di dunia yang semakin memburuk dimana julah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan.
Berdasarkan laporan WHO, secara global terdapat peningkatan kasus TB dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 didapatkan kasus TB sebanyak 8,3 juta penderita, sedangkan pada tahun 2007 terjadi peningkatan yang cukup tinggi dimana didapatkan sebanyak 9,27 juta kasus baru ( 139 per 100.000 penduduk ) dan angka mortalitas sebesar 19,7 per 100.000 penduduk. Kasus TB terbanyak didapatkan di benua Asia ( 55 % ) dan Afrika ( 31 % ). Indonesia sebagai negara berkembang menempati peringkat ketiga setelah India dan China dalam jumlah kasus TB. Jumlah kasus TB sepanjang tahun 2007 diperkirakan sebesar 232.358 orang. Kasus TB paru BTA positif pada tahun 2007 sebesar 160.617 kasus dengan angka penemuan penderita (Case Detection Rate/CDR) sebesar 69,12 %. Pencapaian ini hampir mendekati global target yaitu 70 %. Sementara itu angka insiden kasus baru BTA (+) mengalami kecenderungan penurunan kasus selama kurun waktu 2000 2006 dari 126 per 100.000 penduduk menjadi 104 per 100.000 penduduk. Penurunan ini tidak terlepas dari adanya pengendalian penyakit TB.
Timbulnya kasus resistensi terhadap obat anti tuberkulosis terutama terjadinya kekebalan ganda (Multi Drug Resistance = MDR) bakteri TB semakin menjadi masalah serius. Berdasarkan laporan WHO diperkirakan selama tahun 2007 didapatkan kasus TB MDR sekitar 0,5 juta kasus. Kasus TB MDR terbanyak didapatkan di India ( 131.000 ), China (112.000 ), Rusia ( 43.000 ), Afrika selatan ( 16.000 ) dan Bangladesh ( 15.000 ). Kasus TB MDR ini bersifat mematikan, sangat infeksius dan sukar disembuhkan. Pengobatan terhadap kasus TB MDR sangat komplek dimana membutuhkan waktu yang lama, biaya besar dan pengawasan yang ketat. Keadaan ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi kasus TB yang sulit ditangani. Keterlambatan dalam mengenali adanya resitensi terhadap obat anti tuberkulosis menyebabkan terlambatnya pemberian terapi yang efektif, memperbesar kemungkinan penularan kuman yang resisten terhadap obat dan meningkatkan
resiko kematian pada penderita TB dengan resistensi obat anti tuberkulosis.
Terjadinya resistensi kuman mikobakterium tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis biasanya meliputi beberapa jenis obat yang termasuk dalam “first line drugs yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Penyebab utama timbulnya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis adalah pengobatan yang tidak adekuat dimana pemakaian obat anti tuberkulosis yang tidak sesuai dengan aturannya baik dari segi dosis, cara pemakaian maupun lamanya pemakaian obat yang akan menyebabkan berkembangnya bakteri yang resisten. Namun, resistensi terhadap bakteri M. tuberculosis juga dapat terjadi secara langsung yaitu jika penderita tertular oleh bakteri M. tuberculosis yang telah resisten dari penderita TB yang lain.
Resistensi bakteri M. tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) terjadi karena terdapatnya mutasi pada bakteri M. tuberculosis. Mutasi ini terjadi karena pengaruh obat yang tidak adekuat membunuh seluruh bakteri M. Tuberculosis, sehingga bakteri yang bertahan hidup dapat mengalami mutasi. Bahkan bakteri yang telah mengalami mutasi ini menjadi semakin virulen. Mutasi ini terjadi pada tingkat gen yang akan mengkode enzim yang sebelumnya merupakan target OAT, sehingga dengan terjadinya mutasi ini maka obat anti tuberkulosis tidak dapat mengganggu kerja enzim dari bakteri M. Tuberculosis.

Tepat pada hari Selasa, tanggal 24 Maret merupakan hari peringatan penyakit tuberkulosis sedunia (World Tuberculosis Day). Oleh karena itu, mari perhatikan orang-orang disekitar kita, apabila terjadi indikasi seperti batuk-batuk berdahak atau tubuh panas dan berkeringat di malam hari dalam jangka waktu yang cukup lama, harap segera di periksakan ke dokter dan cek laboratorium, karena TB terkadang dianggap penyakit yang sepele karena gejalanya yang tidak terasa oleh penderita. Untuk menghindari resistensi atau TB MDR juga perhatikan keluarga yang sedang menjalani terapi TB, agar diingatkan untuk meminum obat secara teratur. Kalau bukan kita siapa lagi?

Sabtu, 07 Maret 2015

Mahasiswa Farmasi Indonesia dan Mahasiswa Farmasi Asing

Jika kita berbicara tentang kualitas seorang tenaga kefarmasian dalam ruang lingkup nasional mungkin sudah  sering terdengar di telinga kita, namun bila disinggung tentang tenaga kefarmasian dalam lingkup internasional mungkin sangat luas cakupan pembahasannya. Yang akan kita kupas disini adalah mengenai kualitas antara seorang mahasiswa farmasis di Indonesia dengan mahasiswa farmasi asing.
Apabila dikaitkan dengan dunia internasional maka pada umumnya masalah yang akan langsung muncul di pikiran pertama kali ialah permasalahan bahasa. Bahasa asing atau bahasa internasional seringkali menjadi salah satu kendala mahasiswa untuk berkembang. Sebagian mahasiswa berpikir bahwa mempelajari bahasa bahasa lain seperti bahasaInggris,Jerman, Jepang, dan yang lainnya tidak terlalu berpengaruh pada kelulusan mereka, sehingga mereka cenderung tidak mau mempelajari bahasa-bahasa asing tersebut. Pikiran yang seperti inilah yang akan berakibat fatal bagi para mahasiswa untuk bersaing di dunia internasional, sehingga pada akhirnya mereka hanya berputar pada ruang lingkup nasional saja. Namun tidak semuanya memiliki pemikiran yang seperti itu, ada sebagian yang memperlihatkan etos kerja dan keintelektulan mereka dengan mampu menguasai beberapa bahasa lain. Itu semua karena orang-orang seperti mereka memiliki tekad, semangat dan kegigihan yang tinggi.
Pada dasarnya, mahasiswa farmasi yang di luar negeri dengan mahasiswa farmasi di Indonesia mempelajari ilmu yang sama, hanya kelemahan dari mahasiswa farmasi di Indonesia ada pada kemampuan Informasi dan Teknologi (IT) dan kemampuan berbahasa asing terutama bahasa internasional yakni bahasa Inggris, serta fasilitas atau sarana yang diterima oleh mahasiswa farmasi di Indonesia bisa dibilang jauh tertinggal dari mahasiswa luar negeri. Selain itu mahasiswa di luar negeri lebih menghargai waktu dan memiliki kedisiplinan yang tinggi dibanding mahasiswa di Indonesia. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dimiliki seorang mahasiswa farmasi Indonesia jika ingin bersaing dengan mahasiswa asing lainnya yakni menghargai waktu dengan disiplin, belajar dan berlatih dengan serius, menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris serta meningkatkan pengetahuan mengenai IT. Jika tiga hal tersebut sudah dimiliki oleh mahasiswa farmasi di Indonesia, alhasil mahasiswa farmasi Indonesia tidak merasa canggung dan dapat dengan mudah bersaing dengan mahasiswa asing .
Selain permasalahan diatas, masalah selanjutnya adalah tentang citra seorang apoteker atau farmasis di mata masyarakat Indonesia. Pandangan sebagian besar masyarakat adalah bahwa profesi apoteker di Indonesia kurang dikenal baik. Hal ini dikarenakan masyarakat hanya mengetahui bahwa apoteker itu adalah seseorang yang bertugas di apotek tanpa tahu apa tugas mereka. Dewasa kini, masyarakat menghubungkan apoteker selalu identik dengan apotek, bahkan masyarakat awam tidak mengetahui bahwa prospek kerja seorang apoteker atau farmasis itu sangatlah luas. Dalam pemikiran mereka apabila mereka pergi berobat maka yang menjadi tokoh utamanya hanyalah seorang dokter, padahal seharusnya apoteker dan dokter saling bersinergi menjadi satu kesatuan dalam mengupayakan pelayanan kesehatan masyarakat. Selain itu, sering terjadi pula dokter yang langsung memberikan obat sendiri kepada pasiennya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada apoteker sehingga terkesan tenaga kefarmasian dipandang sebelah mata baik oleh dokter maupun oleh masyarakat atau pasien itu sendiri.
Hal tersebut sangat berbeda jika dibandingkan  dengan Negara lain, terutama di negara-negara maju. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan telah memiliki pencitraan yang sangat tinggi di mata masyarakatnya. Apoteker memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apoteker bersama dengan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya menjadi sebuah tim yang saling bekerja sama dalam meningkatkan upaya pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga pandangan terhadap seorang farmasis diluar negeri terkesan lebih tinggi di mata masyarakat karena keprofesionalan mereka dalam upaya pelayanan masyarakat.
Pada saat ini, fokus profesi apoteker telah berganti dari drug oriented (pelayanan obat) menjadi pharmaceutical care (pelayanan pasien). Pada prinsip drug oriented, apoteker cenderung bekerja di balik layar  saja, yakni hanya meracik dan menyuplai sediaan farmasi. Namun, pada prinsip pharmaceutical care, apoteker bukan hanya terfokus kepada obat, namun lebih terarah dalam pemberian pelayanan, informasi, dan kepedulian terhadap pasien. Dengan sistem seperti ini diharapkan masyarakat dapat lebih mengenal peran apoteker dalam meningkatkan upayapelayanan kesehatan masyarakat.

Seperti yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa masalah seperti kurangnya penguasaan bahasa asing karena mahasiswa yang tidak memahami pentingnya kemajuan informasi dan teknologi, kurang menghargai waktu dalam keprofesian farmasi, serta citra seorang farmasis di mata masyarakat yang tidak berkembang dikarenakan adanya sikap memandang sebelah mata pekerjaan seorang farmasis, masalah lapangan pekerjaan serta ketidak profesionalan ini menjadi tugas besar kita sebagai mahasiswa farmasi yang nantinya akan turun dan mengabdi pada masyarakat. Diharapkan mahasiswa  farmasi dapat membuat suatu perubahan nyata bagi menjadi tenaga tenaga farmasis yang berkompeten dan menjaga keprofesionalan kita sebagai seorang farmasis  masa depan Indonesia. Semua itu perlu dilakukan untuk  merubah  pencitraan seorang farmasis di mata masyarakat menjadi lebih baik dan agar kita dapat bersinergi dengan interprofesi kesehatan lainnya  dalam meciptakan upaya pelayanan kesehatan yang optimal bagi masa depan Indonesia yang lebih baik dan menciptakan daya saing yang baik dan sehat  dengan tenaga kerja farmasi dan  interprofesi kesehatan internasional kelak terlebih dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi unggul di bidang kesehatan.

Industri Farmasi Menghadapi AFTA? Siapa takut!

Apa itu AFTA? ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan yang sebentar lagi akan terlaksana. AFTA menghapuskan batas-batas Negara ASEAN dalam kegiatan perekonomian. Tujuan terbentuknya AFTA adalah ingin menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global, menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI), dan meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade). Pada dasarnya AFTA ini merupakan wadah bagi Negara ASEAN dalam mempersiapkan diri menghadapi persaingan pasar di dunia.
Indonesia merupakan salah satu sasaran utama dalam diberlakukannya AFTA. Tentunya Indonesia memelukan strategi khusus yang harus diterapkan agar nantinya Indonesia tidak hanya menjadi pasar dari negara-negara lain tapi juga bisa menjadi pengekspor produk-produk yang berkualitas dan mampu bersaing di pasar bebas tersebut. Indonesia didukung berbagai sumber daya dan aset yang memadai, yaitu sumber daya alam yang melimpah, sektor industri, wilayah negara yang luas dan juga wilayah perairan yang sangat kaya. Namun kelemahannya Indonesia belum memiliki tata kelola asset dan sumber daya yang baik. Jika ingin menjadi pemain dalam AFTA segala aset tersebut harus dikelola dengan baik agar nantinya bisa mensejahterakan Indonesia. Apabila Indonesia tidak memiliki strategi yang baik dalam menghadapi AFTA yang sebentar lagi akan berlaku ini, dikhawatirkan Indonesia akan menjadi budak di negeri sendiri dan penjajahan modern pun akan menimpa Indonesia karena SDM-nya yang tidakmampu bersaing dengan SDM asing.
Lalu apa hubungannya AFTA dan Industri farmasi, mari kita kupas satu per satu. Industri Farmasi merupakan salah satu asset bisnis perindustrian bangsa Indonesia. Berdasarkan data dari IAI (IkatanApoteker Indonesia), Indonesia memiliki sekitar 243 industri farmasi penghasil obat-obatan yang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Industri farmasi Indonesia sangat berperan aktif dalam menjaga kesehatan bangsa Indonesia. Harga obat-obatan yang beredar di Indonesia di tentukan oleh mereka namun tetap dalam pengawasan dan diatur dalam undang-undang pemerintah. Secara langsung dan pasti, Industri Farmasi di Indonesia akan bersaing juga dengan Industri farmasi di negara lain. Dalam menghadapi AFTA, industri farmasi Indonesia harus mempersiapkan beberapa hal untuk bisa bersaing dengan Negara asing. Hal pertama yang harus dipersiapkan oleh industry farmasi tentunya adalah sumber daya manusia (SDM). Di industri farmasi pun para SDM-nya harus memiliki kompetensi unggul, sehingga mereka bisa mengelola perusahaan dengan baik. Arti  kompetensi disini adalah SDM yaitu mampu berkomunikasi secara verbal, kolaborasi atau kerjasama, profesional di bidangnya, mampu menulis dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah. Apabila SDM-nya baik dan bisa bersaing dengan industri farmasi asing maka industri itupun akan tetap stabil dalam pasar. Dalam menghadapi AFTA ini maka para SDM-nya harus mampu menyelaraskan kompetensi dan peluang yang ada dalam persaingan bebas skala ASEAN ini dan memiliki etos kerja yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam setiap kesulitan dan tantangan saat AFTA nantinya. Ini dimaksudkan agar eksistensi obat-obatan buatan industri farmasi Indonesia tetap terjaga kualitas mutunya dan tidak kalah daya saingnya oleh eksistensi obat-obatan dari negara lain.
Hal kedua yang harus dipersiapkan oleh industry farmasi Indonesia adalah diturunkannya jumlah impor bahan baku. Berdasarkan fakta, industri farmasi Indonesia masih mengimpor bahan bakunya dari negara lain sebesar 95%. Negara pengimpor bahan baku tersebut antara lain Tiongkok, India, dan Eropa. Tingginya tingkat impor bahan baku untuk pembuatan obat merupakan suatu masalah serius apabila industri farmasi belum bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhannya. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka bisa saja nantinya harga obat buatan industri farmasi Indonesia menjadi sangat mahal karena pemasok bahan baku bisa menaikan harga sesuai keinginan negara pengimpor sedangkan dengan diberlakukannya AFTA, negara pengimpor tersebut bisa  dengan bebas memanipulasi  harga penjualan obat-obatan yang mereka produksi secara mandiri. Bila harga obat impor lebih murah dibandingkan harga obat buatan farmasi Indonesia, maka dipastikan bangsa Indonesia akan lebih memilih obat dari negara lain dan bila hal ini terjadi, lama-kelamaan produk industri farmasi Indonesia kemungkinan akan kehilangan pasar di negeri sendiri. Pangsa pasar industry farmasi Indonesia pun tidak lagi dilirik sebagai suatu peluang bisnis yang baik dalam persaingan pasar bebas ASEAN.
Untuk menghindari hal ini, maka perlu didirikan industri khusus bahan baku obat yang menyediakan bahan baku untuk industri farmasi di Indonesia. Atau dengan meminimalkan kegiatan impor  bahan baku di kalangan industry farmasi. Minimnya perusahaaan bahan baku di Indonesia adalah karena biaya produksi lebih tinggi dari harga penjualan dan bahan baku impor memiliki harga yang lebih terjangkau. Jika industri farmasi Indonesia ingin mandiri dan menurunkan angka impor bahan baku maka dibutuhkan kerja sama antar industri farmasi atau industri kimia. Kemandirian ini tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia khususnya dibidang upaya pelayanan kesehatan yang memadai. Tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia pada obat-obatan hasil produksi dalam negeri yang berkualitas dan harganya pun lebih terjangkau menciptakan sinergi yang baik dalam bidang pelayanan kesehatan Indonesia kelak.

Hal terakhir yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi AFTA adalah adanya kepercayaan bangsa Indonesia terhadap obat-obatan buatan Indonesia. Kepercayaan dalam menggunakan obat-obatan buatan Indonesia merupakan hal yang penting. Pemerintah pun perlu menjamin rasa aman konsumen dalam hal ini masyarakat sebagai sasaran pelayanan kesehatan. Karena pada dasarnya, industri farmasi harus memiliki pasar di negaranya sendiri. Apabila pangsa pasar industry farmasi baik dan stabil, maka tidak diragukan lagi bila bangsa lain pun akan melirik dan alih-alih menggunakan obat-obatan buatan industri farmasi Indonesia. Selain itu, harus ada kerjasama dan sinergitas antara industry farmasi Indonesia dengan dokter di  Indonesia dalam menentukan obat-obatan yang akan diresepkan agar mempertimbangkan hasil produksi industri farmasi Indonesia. Kerjasama yang professional antara dokter dengan industri farmasi di Indonesia tentunya harus dibangun sejak saat ini untuk menciptakan upaya pelayanan masyarakat yang semakin berkembang menuju arah pelayanan kesehatan yang lebih baik.